Minggu, 26 September 2010

Sebuah Renungan Tentang Fikiran

Fikiran, sebuah kata yang akrab di telinga kita. Sebuah sistem yang maharumit, dimana tiada satu mesin pun di dunia kita yang dapat menyamai ke-kompleks-an dan kerumitannya. Sebuah contoh sejati dari kebesaran sebuah zat yang maharumit. Jarang sekali kita berfikir tentang fikiran kita. Pernahkah kita bertanya, bagaimana saya bisa berfikir? Jarang sekali. Yang lebih sering kita lakukan adalah bagaimana fikiran kita mendominasi umat manusia lainnya untuk tunduk, patuh, dan taat demi kepentingan kita. Mungkin tidak salah bagi kita berbuat demikian, karena sifat dasar kita memang memiliki unsur kepemimpinan. Tetapi terkadang kita lupa, bahwa hal tersebut kita dapatkan dari proses berfikir. Jarang sekali kita bertanya, mengapa otak, pusat fikiran kita yang utama, dapat menimbulkan berbagai pemahaman dan pemikiran?

Padahal setiap manusia memiliki bahan dasar sel otak yang sama. Lalu mengapa kita bisa berselisih faham dan berbeda pendapat? Semua muncul dari ego kita sebagai manusia untuk menemukan kebenaran menurut persepsi kita. Namun, terkadang kita lupa bahwa dalam ego kita terdapat kelemahan, yaitu menyamaratakan setiap orang untuk menerima dan mengiyakan ego kita.

Terkadang kita terlalu sombong untuk menilai sesuatu berdasarkan pemahaman dan sudut pandang orang lain. Terkadang pula kita terlalu sombong untuk mengatakan bahwa orang lain benar. Padahal kita lupa bahwa orang lain pun memiliki sel-sel otak yang berbahan dasar sama dengan kita, yang memungkinkan orang lain untuk memahami sesuatu berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran yang ia anut. Namun ini bukan berarti salah dan benar itu relatif. Kita pun diberikan sel-sel otak kelabu ini, untuk memahami sesuatu supaya lebih dekat kepada kebenaran.

Mungkin sebagian orang mendasarkan kebenaran pada philosophy, mungkin sebagian yang lain mendasarkannya pada agama, dan mungkin pula sebagian yang lain mendasarkannya pada perhitungan matematis. Semuanya bisa menjadi benar, selama konsep-konsep dasar yang kita anut dapat kita buktikan kebenaran dan keabsahannya. Namun, ketika memang sesuatu yang kita anut itu tidak dapt kita buktikan kebenarannya, bahkan cenderung salah, mengapa kita tidak mencoba membuang ego kita dan melihat dunia yang lebih luas dari tempurung kepala kita?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar