Minggu, 17 Oktober 2010

Cerita Di Balik Kesuksesan "TELA KREZZ"

 

Usianya baru 26 tahun, namun Firmansyah Budi Prasetyo, warga Jalan Bugisan, Kecamatan Wirobrajan, Yogyakarta, sukses menapaki usaha snack (penganan) singkong. Dalam waktu 11 bulan, usaha itu melesat melalui pola waralaba dengan jumlah gerai mencapai 250 unit.

Usaha itu bermula saat Firmansyah, yang biasa disapa Firman, melihat gerobak dibiarkan teronggok di rumah selama berbulan-bulan. Gerobak itu semula dibeli ibunya untuk menjajakan gorengan. Namun, usaha itu urung dijalankan.

Melihat gerobak “menganggur”, muncul ide Firman untuk mendirikan usaha makanan dengan gerobak. Kesadaran akan potensi singkong di wilayah DI Yogyakarta menumbuhkan gagasan berkreasi dengan produk pangan sepanjang musim itu.

“Singkong mudah didapat karena ditanam hampir di seluruh wilayah di Indonesia sehingga pengolahannya dapat dilakukan siapa pun,” kata Firman yang mengembangkan usaha itu sejak Februari 2007.

Berbekal modal awal Rp 3 juta, ia mengolah bahan pangan itu secara cermat, hingga terasa renyah. Makanan ringan yang diberi merek Tela Krezz itu berbentuk balok-balok seukuran jari kelingking dan hampir 90 persen komponennya terbuat dari singkong.

“Saya melakukan uji coba beberapa kali sampai menemukan resep untuk membuat singkong lunak seperti kentang. Singkong yang sudah lunak itu diberi aneka bumbu sehingga rasanya bervariasi,” ujarnya.
Gerobak yang menjadi sarana untuk berjualan memanfaatkan peralatan masak sederhana, serupa dengan peralatan masak di dapur rumah. Guna memberi cita rasa, penganan itu diberi bumbu yang kini telah berkembang menjadi 14 jenis rasa.

Dengan modal awal itu pula Firman berupaya memperkenalkan produknya secara massal kepada konsumen. Arena pameran menjadi media ampuh dalam berpromosi. Sejak mengikuti beberapa pameran, pesanan terus mengalir dari dalam dan luar Yogyakarta, di antaranya dari Jawa Tengah. Usaha itu berkembang, Firman lalu merekrut delapan karyawan.

Modal Terbatas
Ketika usahanya beranjak maju, pemuda lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2004 itu tertantang untuk melebarkan sayap usaha. Menyadari modal usahanya terbatas, dia mencoba mengadopsi pola bisnis waralaba.

Untuk membuka sebuah gerai Tela Krezz, pembeli lisensi atau pewaralaba dikenai biaya dana Rp 3,5 juta sampai Rp 6 juta, disesuaikan dengan lokasi. Dengan dana tersebut, pewaralaba juga mendapatkan pelatihan operasional dan manajerial usaha, termasuk cara memilih singkong yang berkualitas baik.

Bahan baku singkong diperoleh dari setiap lokasi waralaba demi menghemat biaya transportasi. Sementara itu, bumbu dasar untuk pelunak singkong dan bumbu rasa snack didatangkannya ke setiap gerai waralaba.

Di setiap provinsi yang menjadi lokasi waralaba terdapat satu pewaralaba yang sekaligus menjadi pemasok bumbu ke pewaralaba lainnya di wilayah itu. Untuk menjadi pewaralaba sekaligus pemasok, total biaya yang dikenakan sebesar Rp 12 juta sampai Rp 15 juta, sesuai dengan lokasi.

Untuk membuka gerai baru, komunikasi dengan para calon klien dilakukan Firman hanya lewat telepon seluler atau surat elektronik (e-mail). Awalnya, bisnis dengan pola komunikasi yang mengandalkan sarana elektronik itu menuai keraguan para calon mitra, khususnya di daerah luar Jawa.

Namun, Firman mampu membuktikan, bisnis adalah sebuah kepercayaan. Kepercayaan itu diwujudkan tidak hanya dalam menjaga mutu produk dan kecepatan waktu pelayanan, melainkan mengedepankan manfaat bagi sesama.

Ketepatan waktu dia buktikan dengan pembukaan gerai dalam waktu 14 hari sejak transaksi. Untuk memperluas kemitraan, ia memberi bonus bagi pemegang lisensi yang menambah mitra usaha dan agen. “Dengan prinsip saling berbagi dengan mitra dan agen, niscaya usaha kita akan maju bersama-sama,” ucap Firman.

Di setiap wilayah, singkong yang diolah rata-rata mencapai 300-500 kilogram per hari. Sejumlah 300-500 kilogram singkong itu menghasilkan 1.200 sampai 2.000 bungkus.

Usaha kecil dan menengah (UKM) berpola waralaba Firman pun maju pesat. Usaha itu berkembang di 32 kabupaten dan kota, di antaranya Nunukan, Malang, Samarinda, Balikpapan, Medan, Jambi, Batam, dan Banjarmasin. Omzet total usaha berpola waralaba itu mencapai Rp 300 juta setiap bulan.

Dari usahanya itu, ia mendapat tambahan modal. Dia lalu merambah bidang usaha lain seperti bisnis binatu, restoran steak, dan chicken chick’s. Ia pun tak ragu meminjam dana bank. Total karyawan yang dia pekerjakan bertambah menjadi 30 orang.

Untuk usahanya dalam meningkatkan nilai produk pangan, Firman mendapat penghargaan UKM Award dari Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM pada 2007.

Lapangan Kerja


Sebelum menjadi pengusaha, Firman malang-melintang di berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, pascalulus kuliah. Anak pegawai negeri itu mulai berpikir terjun ke dunia bisnis sewaktu bertemu dengan beberapa imigran gelap asal Indonesia yang terpaksa hijrah ke negeri jiran melalui Nunukan, Kalimantan Timur, demi mendapatkan pekerjaan.

“Saya bertanya-tanya, di mana peran pemerintah untuk menyerap lapangan kerja? Kalau bukan kita yang berusaha membuka lapangan kerja, sampai kapan pun pencari kerja gelap ke luar negeri akan terus ada,” ujarnya.

Sejak awal ia meyakini, dalam suatu usaha itu standardisasi sangat penting. “Apa pun bentuk usahanya, jika dilakukan dengan standardisasi jelas, usaha itu pasti jalan,” kata anak sulung dari tiga bersaudara itu.

Pola waralaba diyakininya efektif untuk membuka lapangan kerja. Konsep kemitraan menjadi pilihan dia untuk mengembangkan bisnis tanpa perlu modal besar, namun tetap bisa menyerap tenaga kerja.

Memasuki tahun 2008, Firman berencana mengembangkan UKM berpola waralaba itu, terutama ke daerah luar Jawa. Ia berharap potensi singkong di luar Jawa bisa berkembang seiring peningkatan nilai tambah produk itu. Ia juga berencana menciptakan variasi produk singkong lainnya dalam bentuk dan rasa yang berbeda.

Di sela kesibukan berusaha, pemuda lajang itu kerap memberikan pelatihan berbisnis untuk kelompok-kelompok mahasiswa tingkat akhir perguruan tinggi negeri dan swasta.

“Saya ingin mengajak generasi muda untuk tidak menggantungkan penghasilan pada penyedia lapangan kerja, tetapi menciptakan usaha. Modal kecil bukan halangan, yang penting kreativitas,” ucapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar