Selasa, 05 Oktober 2010

Mimpiku yang Aneh dan Bermakna

Entah apa mimpi di siang bolong yang terjadi pada diriku. Aku tiba-tiba saja bermimpi. Mimpi suatu hal yang akan terjadi, jika Allah SWT mengizinkan. Mungkin karena angan-angan dan cita-cita yang belum aku laksanakan dan yang belum aku jemput, maka muncullah mimpi di siang bolong ini. Tetapi apa salah aku  bermimpi? Atau apa salahnya dengan mimpi itu? Tidak ada yang salah dengan diriku dan tidak ada yang salah dengan mimpi itu. Aku hanya bermimpi dan aku berharap mimpi ini adalah kejadian yang tersamar oleh kehidupan bunga mimpi.

Memangnya aku mimpi apa? Hehehe.... Aneh, aku serasa hidup di suatu zaman. Zaman yang hidup pada masanya di suatu negeri fasis yang disebut Jerman. Ya, hidup di zaman NAZI pimpinan Adolf Hitler. Entah mengapa aku sangat menyukai musik di zaman itu. Sehingga bila kemana-mana selalu menetneng gitar. Sebuah gitar akustik yang tidak begitu pandai kumainkan. Karena memang aku tidak pandai menggunakan alat musik itu. Aku hanya suka mendengar alunan-alunan suara yang ditimbulkan oleh senar-senar bas-nya, sambil sekali-sekali memetikkan senar yang lainnya. Sehingga bunyi nada bas yang muncul dan diselingi oleh nada-nada yang lainnya. Ya, seperti munculnya kegembiraan anak-anak kecil yang manis sedang bermain-main sambil mengemut permen lolly-pop di antara barisan gagah para tentara NAZI itu. 

Aku memiliki dua orang sahabat. Mereka adalah orang-orang yang penuh dengan mimpi. Aku jadi teringat pada film Sang Pemimpi dimana sang tokoh utama yang bernama Ikal memiliki dua orang sahabat yang juga penuh dengan mimpi, Arai dan Jimbron. Rupa dan bentuk sahabat-sahabatku itu persis seperti wajah dua orang sahabat Ikal ini. Arai yang berbadan kurus dan Jimbron yang bertubuh gempal, tetapi dia agak bungkuk. Kami selalu memiliki mimpi masing-masing. Aku bermimpi menjadi seorang pengusaha yang sukses dan kaya-raya. Sahabatku yang pertama bermimpi mengejar pendidikan ke negeri lain dan menjadi kaya, sedangkan sahabatku yang lain bermimpi menjadi seorang yang kaya dengan segala keterbatasannya.

Pada suatu hari aku pergi ke sebuah lapangan bukit yang tandus, yang ditumbuhi oleh beberapa helai rumput dan semak. Ketika itu aku masih setia dengan gitar akustik itu yang kusandang pada bahu kiriku. Lalu muncullah segerombolan para tentara NAZI itu yang hendak menuju ke kamp barat. Pada saat itulah, aku mengambil gitar ku, dan kumainkan dengan memetik senar-senar bas-nya. Seperti hendak mengiringi kepergian para pasukan tentara itu ke wilayah barat. Mereka seakan tidak peduli akan permainanku. Tetapi ada beberapa orang tentara yang melirik ke arah permainan ku. Lalu mereka berlalu begitu saja. Mereka melewati tanah bukit yang tidak terlalu tinggi itu dengan aku yang berada di bawahnya dengan begitu saja. 

Esoknya aku kembali ke tanah lapang itu. Tentunya dengan gitar akustik yang selalu ku gantung di bahu kiri. Lalu muncullah segerombolan perempuan-perempuan manis berpakaian barat klasik pada zamannya yang menuju ke barat. Mereka berjalan sambil bersenda gurau sambil tersenyum dan tertawa. Aku berpikir mereka pasti para suster dan perawat yang menuju ke kamp peperangan di arah barat. Lalu aku tertegun dan segera ku petikkan senar demi senar di gitarku tersebut. Mereka melirik ke arah permainanku sembari memberikan senyuman pada ku dan gitarku.

Lalu aku berlalu dan pulang ke arah kota. Sambil berpapasan dengan para gadis-gadis perawat tersebut. Tiba-tiba saja dari arah mereka muncul seorang pria berbadan besar dengan kumis khasnya sambil menarik lengan kanan ku dan menyeretku agar aku mengikutinya. Dari pakaiannya aku menebak orang ini pastilah seorang perwira. Lalu dia melepas gengamannya di lenganku dan menyuruhku masuk di depan pintu suatu rumah. Lalu aku bertanya, "Mengapa?!" Dia menjawab sambil membukakan pintu rumah kecil itu, "Untuk mengajarkan mereka cara memetikkan senar gitar." Kegelisahanku berubah menjadi perasaan gembira ketika aku melihat beberapa anak kecil di dalamnya. Dengan raut kegembiraannya mereka bercanda tawa antar satu dengan lainnya. Lalu aku berkata pada perwira itu, "Dengan senang hati, Tuan." Lalu dia tersenyum dan berlalu sambil membiarkan aku bersama anak-anak kecil itu. Lalu aku mencoba untuk mengajari mereka cara memegang gitar dan bagaimana memetik senar-senarnya satu demi satu. Mulanya mereka kurang menerima pengajaran yang aku berikan, tetapi pada akhirnya mereka menerimaku sepenuhnya. Entah berapa ratus banyak murid yang kuajar tahun demi tahun. Sehingga mereka menyewaku untuk mengajarinya. Padahal aku tidak begitu paham dengan gitar. Anehnya, mereka terus memintaku untuk mengajari anak-anak mereka.

Begitu seterusnya sehingga kehidupan ku tambah lama makin baik. Lalu seorang wanita menghampiriku dan bertanya, "Engkau sekarang sudah mapan. Apa yang terjadi pada dua orang sahabatmu yang lain?" Lalu aku berkata, "Mereka telah menggapai semua impiannya masing-masing. Aku sekarang sudah mapan dan kaya dengan kehidupanku sekarang. Temanku yang satu sudah berada di negeri yang lain untuk menimba ilmu dan sudah menjadi seorang ilmuwan kaya. Dan temanku yang satunya lagi, sudah kaya dengan segala keterbatasan yang ia miliki." Lalu aku tersenyum dan pergi berlalu saja hingga pada akhirnya aku terbangun dari mimpi ini.

Ternyata mimpi toh? Ya, diawal sudah kusinggung bahwa aku bercerita tentang mimpiku ini. Memang aneh mimpi ini. Tapi apa pelajaran yang bisa aku petik dari mimpi ini? Andalah yang bisa menilainya karena aku sedang hampir menyelesaikan pemikiranku tentang mimpi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar